Pangarsa Prajurit Pengawal Maha Menteri Panembahan Agung KGPH – Wilayah Malang Raya Jawa Timur
Malang, [radarjatim.co – Indonesia memang bisa dibilang sudah maju dan berkembang, namun orang-orang yang masih mengambil langkah mistis ketika berada dalam kesusahan juga masih banyak. Salah satunya adalah dengan melakukan pesugihan.
Banyak cara meraih kekayaan dengan kerja keras dan halal, tapi tak sedikit pula orang yang ingin kaya secara instan. Bahkan rela bersekutu dengan setan, yaitu dengan cara ritual pesugihan.
Pesugihan adalah sebuah ritual tertentu yang dilakukan dengan tujuan agar seseorang mendapatkan kekayaan. Kesulitan ekonomi dan tidak tahu lagi harus berusaha seperti apa membuat sebagian orang memilih jalan pintas dengan melakukan pesugihan.
Dijawa Timur, ada banyak tempat untuk ritual ngipri atau pesugihan. Salah satunya di daerah Ngujang, Tulungagung. Di tempat ini terkenal dengan pesugihan monyet atau kera, atau dalam Bahasa Jawa biasa disebut kethek.
Tidaklah sulit menemukan tempat ritual pesugihan ini. Jika hendak menuju Kota Tulungagung, para wisatawan yang datang dari arah utara, pasti melewati Desa Ngujang. Dan jika para wisatawan (biasanya mereka berwisata di daerah Popoh, yang menjadi salah satu obyek wisata Pantai Selatan di Jawa Timur) yang melewati Desa Ngujang.
Mereka akan mengira tempat ini adalah area komplek lokalisasi. Sebab, selain terkenal sebagai tempat pesugihan, Desa Ngujang juga dikenal sebagai lokalisasi atau komplek tempat para pekerja seks komersial (PSK) mengais rezeki.
Disitu orang-orang yang datang, biasanya meminta pesugihan, “Terang Wignyo, warga Desa Campur Darat, Tulungagung. Dijelaskan, oleh Gus Ripno Waluyo, SE, SPd, S.H (Tokoh spriritualis, penasehat hukum, Pangarsa Prajurit Pengawal Maha menteri panembahan Agung KGPH Tedjo wulan) bahwa satu komplek pemakaman Pecinan atau China, satunya lagi makam Jawa. Dan di tempat inilah, tempat hidup dan berkumpulnya ratusan, bahkan ribuan monyet, atau warga sekitar biasa menyebutnya lokasi Kethekan.” jelas Gus Ripno.
Gus Ripno waluyo memaparkan, ada tata cara khusus untuk menjalani ritual pesugihan di Ngujang. Ada perjanjian-perjanjian khusus yang harus dipenuhi sang pemuja sebagai mahar (mas kawin) dia (pemuja pesugihan) harus bersedia menjadi penghuni makam Ngujang dan berkumpul bersama kethek-kethek di sana ketika ajal menjemput. Saat masih hidup-pun, si pemuja juga wajib memberi tumbal kepada mahkluk ghaib yang menguasai makam Ngujang.” paparnya.
Para monyet yang menghuni makam Ngujang, adalah perwujudan si pemuja pesugihan yang sudah meninggal, termasuk wujud tumbal yang pernah dijadikan persembahan si pemuja semasa hidupnya. Singkat kata, monyet-monyet itu adalah mahkluk jadi-jadian alias jelmaan siluman.
Kisah legenda yang berkembang, dua orang santri Ponpes tersebut, laki-laki dan perempuan, tengah bermain-main di sekitar dua komplek makam. “Dahulu tempat tersebut bukanlah makam, hanya tempat biasa yang rindang karena banyak pohon-pohon besar yang tumbuh,” terang Gus Ripno.
Lanjut Gus Ripno “Dua santri itu sengaja membolos dari pengajian untuk bermain-main di tempat yang kini dijadikan tempat muja. Mereka bermain sambil memanjat pohon di tempat tersebut. Karena asyik bermain, kedua santri tersebut, lupa kalau ada pengajian rutin di pesantren tempat mereka belajar. Namun, tiba-tiba salah satu kiai mereka datang dan bertemu dengan dua santrinya yang asyik bermain tersebut,” ungkapnya.
Lebih lanjut, kedua santri itu masih asyik memanjat pohon ketika kiyai mereka datang. Sedangkan sang kiyai yang melihat kedua santrinya tidak mengikuti pengajian, menegur dua bocah tersebut. Kata sang kiyai, “Nduk, le, kalian kok tidak ikut ngaji? Lihat teman-teman kalian sedang mengaji di pondok. Kalian kok malah memanjat pohon di sini, seperti kethek (monyet) saja.”paparnya
Masih Gus Ripno, “Kedua santri itu, konon menjadi monyet yang hidup di sekitar makam Desa Ngujang. Monyet yang sering terlihat di sekitar makam Ngujang itu, adalah keturunan dari dua santri yang dikutuk menjadi monyet oleh kiai pondok tersebut, desa itu disebut sebagai desa Ngujang yang berasal dari kata pawejangan, yang artinya tempat menuntut ilmu (pondok pesantren).” tuturnya.
Dari zaman ke zaman, makam Ngujang atau Kethekan, dijadikan tempat mencari pesugihan. Barang siapa yang meminta juru kunci untuk membantu mencari pesugihan, dia (si pemuja) diberi seekor monyet yang dijadikan peliharaan untuk dapat mendatangkan rezeki.
“Sebelum dihadiahi seekor monyet, si pemuja diminta melakukan ritual terlebih dahulu. Dan setiap tahun pada tanggal 1 Suro, semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana, dimintai sumbangan tertentu untuk mengadakan ritual semacam selamatan. Semua orang yang pernah mencari pesugihan di sana akan diundang dalam acara selamatan tersebut,” imbuhnya.
Gus Ripno menambahkan, “pesugihan apapun itu tidak ada gunanya malah sengsara di alam nyata atau alam kematian,”pesannya.
Itulah sebagian pesugihan di Indonesia yang dipercaya bisa memberikan kekayaan bagi pemujanya. Sebenarnya, melakukan ritual pesugihan tidak akan menghindarkan dari kesengsaraan.
“Mungkin saja pelakunya bisa mendapatkan kekayaan sesaat di dunia, namun jika pada akhirnya dia harus mati tidak wajar, bukankah hal tersebut akan lebih menyiksa? Tentunya tidak hanya itu saja, tindakan pesugihan termasuk syirik dan dilarang oleh agama,” tutupnya. (Ari/Ay)