Lamongan || Radarjatim.co – Viral video aksi kekerasan dialami salah satu siswa SMPN 1 Kembangbahu, Lamongan, dalam video tersebut terlihat seorang guru melakukan tindak kekerasan dengan menampar siswa tersebut berkali-kali disertai dorongan dan membentak dengan keras.
Tim media Radarjatim.co segera melakukan penelusuran menuju SMPN 1 Kembangbahu, dan juga kediaman korban yang berada di Desa Puter, untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan akurat.
Saat tiba di SMP Negeri 1 Kembangbahu bertujuan menemui Kepala Sekolah, namun beliau sedang dinas diluar, akhirnya kami ditemui Humas dan salah satu guru bernama Yusuf, saat kami menanyakan kronologi terjadinya kekerasan tersebut membenarkan adanya tindak kekerasan terhadap siswa bernama Satria, dan sudah di ambil alih oleh Dinas Pendidikan Lamongan.
Namun yang mengejutkan dari pernyataan Yusuf, dirinya menyebutkan bahwa tindakan kekerasan yang di lakukan oleh oknum guru tersebut merupakan tindakan manusiawi yang mungkin pada saat itu dia sedang ada masalah dirumah.
“Ya itu manusiawi mas, namanya manusia mungkin Bu Eli lagi ada masalah di rumah, jadi terbawa ke sekolah,” ucapnya sembari menunjukkan kartu pers dengan mengatakan jika dirinya ikut pers disalah satu media online.
Sementara itu Orang tua dari (Satria) Korban kekerasan tersebut mengatakan bahwa masalah ini sudah damai dan sudah diselesaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Lamongan (Munif) dan berharap Eli (oknum guru kekerasan) di mutasi dari sekolah tersebut supaya anaknya (Satria) mau bersekolah kembali dan tidak trauma.
Namun sangat disayangkan, dalam video permintaan maaf (mediasi) dan juga berdasarkan pengakuan orang tua korban mengatakan jika mediasi dan permohonan maaf yang dilakukan Dinas Pendidikan bukan di lakukan di rumah korban, lingkungan sekolah ataupun di Kantor Dinas Pendidikan, melainkan di sebuah warung kopi, dirinya pun tidak tahu pastinya lokasi tersebut.
Tentunya hal itu tidak sepantasnya di lakukan oleh orang-orang yang berpendidikan seperti mereka, sepatutnya mediasi dilakukan dikediaman korban (Satria) sembari meminta maaf dan memberi kompensasi kepada korban yang mengalami luka fisik dan mental (trauma).
Disela konfirmasi dengan ibu korban, saudara dan tetangga dari korban yang hadir mengatakan “kami tidak terima jika anak kecil begitu dipukul, ditampar, ditonjok, kok tega, orang seperti itu kok bisa jadi guru” sahut mereka.
Ketika kita menemui korban (Satria) menuturkan kronologi awal yang menimpanya, ia merasa sang oknum Guru bernama Eli kurang jelas mendengar perkataan yang ia lontarkan.
“Pas bu Eli datang mau masuk kelas, saya bilang ke teman-teman ada bu Eli, tapi bu Eli dengarnya saya bilang ada Eli, ada Eli, saya mau jelasin tapi gak bisa keburu dimarahin dan dipukul, jelasnya.
Seketika dirinya dipanggil lalu dimarahi dengan nada tinggi dan kasar dirinya di tampar, didorong, berkali-kali, menurut ibu korban sebelum divideo anaknya sudah mendapat tindak kekerasan fisik lebih parah seperti ditonjok.
Ketika kami menanyakan sepengetahuannya mengenai karakter guru tersebut, Ia mengatakan jika guru tersebut memang dikenal galak dan gampang marah menjadi sosok yang menakutkan bagi para murid.
Terkait dengan kejadian kekerasan fisik ini, sikap tegas Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Munif patut dipertanyakan, bagaiman tindakan tegasnya dalam memberikan efek jera bagi para pendidik yang bersifat arogan apalagi sampai melakukan kekerasan fisik terhadap siswanya.
Padahal sudah jelas, sejak tahun 2005 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah melarang penggunaan kekerasan fisik terhadap anak di sekolah yang dilakukan dengan sengaja oleh individu terhadap individu lainnya dengan tujuan menindas agar mendapat penderitaan.
Pada hakikatnya, kekerasan tidak pernah dibenarkan baik dalam hukum positif, hukum Islam, maupun hukum adat setempat kekerasan mengakibatkan kerusakan pada fisik korban, tidak hanya itu bahkan dapat melukai psikis korban.
Namun sayangnya, implementasi kekerasan di masyarakat masih sering dijumpai dengan berbagai oknum mulai dari anak-anak hingga dewasa. Ironisnya, kekerasan justru kerap terjadi di institusi Pendidikan yakni sekolah.
Perlu diperhatikan pula, bahwa pada dasarnya pasal tentang penganiayaan anak ini diatur khusus dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
Adapun selanjutnya sanksi bagi orang yang melanggar pasal di atas (pelaku kekerasan/penganiayaan) ditentukan dalam Pasal 80 UU 35/2014:
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.
Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.
Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
(Rois)