Pemerintah Indonesia menyoroti aturan pembatasan konsumsi produk berisiko hasil penggundulan hutan (deforestasi) yang tertuang dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang dianggap diskriminatif dalam pemajuan industri sawit.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan sikap pemerintah RI yang keberatan pada aturan bebas produk hasil deforestasi yang diterapkan Uni Eropa melalui European Union Deforestation Regulations (EUDR). Sikap ini, bukan berarti Indonesia tidak peduli lingkungan, melainkan tidak mau didikte oleh negara lain.
“Tidak menolak, tetapi kita juga menjaga posisi kita bahwa kita tidak mau didikte oleh kebijakan-kebijakan EUDR,” ujar Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi, Industri, Jasa, dan Perdagangan BRIN Delima Hasri Azahari dalam acara Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 Nusa Dua, Badung, Bali, Jum’at (8/11).
Delima Hasri Azahari menjelaskan, Indonesia sudah berkomitmen dalam mengurangi dampak perubahan iklim. Terbukti, melalui Nationally Determined Contribution (NDC) dengan terus melakukan pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi).
Konsep hutan dan deforestasi yang dibuat Uni Eropa dalam EUDR tidak sama dengan yang diterapkan Indonesia. “Konsep hutannya sendiri tidak sama dengan konsep kita, konsep yang dipakai oleh mereka adalah konsep berdasarkan definisi dari Food and Agriculture Organization (FAO), sementara kita punya definisi kita sendiri,” jelas Delima Hasri Azahari.
Sehingga, tambah Delima, hal ini berpotensi membuat produk perkebunan, pertanian, dan peternakan Indonesia masuk dalam kategori risiko tinggi (high risk) hasil deforestasi (penggundulan hutan).
Oleh karenanya, Delima, mendorong agar Pemerintah terus meyakinkan Uni Eropa untuk mengadopsi data kehutanan yang ada di Indonesia melalui National Dashboard, mengingat kebijakan EUDR bakal memberikan dampak besar bagi perekonomian dan pendapatan devisa ekspor.
EUDR adalah aturan pengetatan perdagangan yang membatasi produk tujuh komoditas. Adapun produk yang dianggap melakukan deforestasi, yakni minyak kelapa sawit, kayu, kopi, karet, kedelai, dan kakao.
Aturan ini mengharuskan produsen menyertakan uji tuntas yang menyatakan produk yang dibuat bebas dari tindakan deforestasi. Beleid tersebut direncanakan bakal diterapkan oleh Uni Eropa pada akhir 2025 mendatang.
Sedangkan menurut Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg, dan Uni Eropa Andri Hadi dalam keterangannya aturan tolak ukur (benchmark) yang diterapkan Uni Eropa tersebut berpotensi bermasalah, karena dirinya menilai di negara Eropa sendiri regulasi tersebut sulit untuk diterapkan.
Hadi mengatakan, sebagai akibat benchmarking yang belum pasti tersebut, suatu negara bisa secara diskriminatif dikategorikan sebagai negara penghasil produk berisiko tinggi dalam melakukan penggundulan hutan, sehingga bisa memicu aturan serupa diterapkan oleh negara lain dengan skema yang sama.
Sementara itu, sebulan sebelumnya Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) melalui Ketua Bidang Kampanye Positif Gapki, Edi Suhardi, menyampaikan kekhawatiran penerapan regulasi EUDR terhadap petani kecil sawit di Indonesia.
Penerapan EUDR akan lebih merugikan para petani kecil terutama petani swadaya ketimbang pengusaha ataupun perusahaan besar sawit. Pasalnya, perusahaan-perusahaan besar umumnya telah memiliki kapasitas dan sumber daya yang memadai untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan EUDR.
“Kita harus fokus bagaimana memberdayakan petani kecil agar tidak tertinggal dan tidak ditinggalkan dalam arus rantai pasok perusahaan-perusahaan Indonesia yang memang memiliki komitmen tinggi untuk memenuhi persyaratan EUDR ini,” kata Edi.
Meskipun EUDR akan meningkatkan beban administrasi dan pendataan bagi perusahaan sawit, Edi optimistis bahwa kinerja ekspor sawit Indonesia ke pasar Eropa tidak akan terpengaruh secara signifikan.
Perusahaan-perusahaan besar, yang merupakan pemain utama di pasar Eropa, dinilainya telah terbukti mampu beradaptasi dengan berbagai perubahan regulasi dan standar keberlanjutan.
Tri Mardi Rasa
tag:
- yearu2j (1)