RADARJATIM CO – Agustus 2025 merupakan bulan kemerdekaan yang ke 80 sejak naskah Proklamasi dikumandangkan oleh proklamator kita Bung Karno, seharusnya menjadi momen perenungan atas perjuangan para pendiri bangsa, kini justru “dikotori” dengan luka-luka sosial. Di banyak daerah, terjadi anarkis, bentrokan dan pembakaran fasilitas publik hingga sampai pada penjarahan ke rumah anggota DPR Rl.
Ironisnya, semua itu akibat perwakilan rakyat kita di Senayan pada sibuk mengurusi urusan perut, kesejahteraan dan kesenangan mereka sendiri.
Di tengah kondisi ekonomi yang menghimpit dan mencekik rakyat, harga kebutuhan pokok melambung, lapangan kerja makin sulit/sempit, dan layanan publik kian tidak terjangkau ternyata anggota DPR justru tanpa ada perasaan ibah dengan terang-terangan meminta kenaikan gaji, tunjangan dan peningkatan fasilitas lainnya. Betapa teganya sedangkan rakyat masih menjerit, tapi wakilnya di parlemen justru menuntut kemewahan dengan pola hidup hedonis.
Ini bukan sekadar tidak peka tapi “penghinaan dan pelecehan” terhadap amanah rakyat.
Mereka duduk di kursi empuk di parlemen karena suara rakyat, tapi begitu terpilih, rakyat dilupakan. Di gedung megah itu, para legislator lebih sibuk menyusun strategi menaikkan tunjangan dan gaji, bukan menyusun solusi untuk mengatasi krisis ekonomi.
Lebih memalukan lagi, permintaan kenaikan gaji ini disampaikan ketika masih banyak anak bangsa kelaparan yang makan sekali sehari, tidur di rumah tak layak, bahkan meninggal karena akses kesehatan tak tersedia. Sungguh sangat menyayat dan merobek perasaan rakyat. DPR RI seolah hidup di dimensi lain jauh dari denyut nadi penderitaan rakyat dan urat nadi rasa malu dan nuraninya sudah terputus.
Tak heran jika akhirnya ledakan amarah rakyat meletus. Di sejumlah daerah, muncul aksi pembakaran, bahkan penjarahan terhadap properti milik pejabat dan elite politik. Ini tentu tidak dibenarkan secara hukum, tapi fakta ini tidak bisa dilepaskan dari konteks rakyat sudah muak dengan ulah wakil rakyat.
Mereka tak lagi percaya pada pemimpin yang hanya datang saat kampanye lalu menghilang di balik pagar parlemen.
Anggota Parlemen (dewan) yang seharusnya menjadi penjaga keadilan sosial, kini justru menjadi simbol ketamakan, keserakahan/kerakusan dan ketidakwajaran atas permintaan kenaikan gaji dan tunjangan.
Mereka ibarat lintah darat yang menghisap darah Rajyat dengan berbagai kebijakan menaikkan tarif pajak di berbagai sektor bahkan bukan hanya gagal memperjuangkan nasib rakyat, tapi juga menjadi beban negara. Gaji besar, fasilitas lengkap, tapi kinerja minim dan jauh dari aspirasi publik.
Momentum di 17 Agustus 2025 ini seharusnya mengingatkan kita semua bahwa kemerdekaan itu bukan seremoni, sejatinya kemerdekaan adalah bebas dari lapar, takut, dan ketidakadilan. Tapi selama anggota legislatif masih lebih sibuk menghitung gaji ketimbang menghitung derita rakyat, maka mereka sudah budek dan buta tuli tidak mendengar lagi suara jeritan rakyat hingga kemerdekaan itu hanyalah ilusi.
Rakyat tidak butuh wakil yang minta naik gaji dan tunjangan serta fasilitas megah, rakyat butuh pemimpin yang rela berkorban, hadir dalam krisis, dan berjuang untuk mereka bukan selalu membawa atas nama rakyat untuk kemewahan dirinya sendiri
DPR RI kini tak ubahnya simbol ketamakan (kerakusan). Bukan pelayan rakyat, tapi penguasa anggaran yang sibuk memperkaya diri sendiri dan mereka patut dinilai gagal menjalankan tugas pokok fungsinya.