RADARJATIM.CO ~ Kabupaten Blitar, dikenal dengan julukan “Bhumi Laya Ika Tana” yang berarti tanah lahirnya persatuan, juga menyandang predikat sebagai salah satu produsen tebu terbesar di Jawa Timur. Namun, di balik gelar yang membanggakan itu, kini tersimpan kegelisahan mendalam bagi para petani tebu. Cuaca ekstrem yang melanda, ditandai dengan panas membara dan hujan yang tak terduga, telah menghantam perkebunan tebu dan mengancam mata pencaharian mereka.
El Niño: Sang Pengacau Kemanisan Blitar
Fenomena El Niño yang menghantui dunia telah menebarkan dampaknya di Kabupaten Blitar. Musim kemarau yang berkepanjangan dan intensitas panas matahari yang meningkat tajam telah menyebabkan kekeringan yang melumpuhkan perkebunan tebu. Lahan-lahan yang seharusnya subur dan hijau kini tampak kering kerontang. Tanaman tebu kehausan, pertumbuhannya terhambat, dan kandungan air gulanya pun menurun drastis.
Di tengah terik matahari yang membakar, hama dan penyakit pun menyerang dengan ganas. Populasi hama seperti penggerek batang dan tikus meningkat pesat, menggerogoti tanaman tebu yang sudah lemah akibat kekeringan. Petani terpaksa berjibaku melawan hama, mengeluarkan biaya ekstra untuk pengendalian hama dan penyakit, sementara hasil panen yang diharapkan semakin tidak pasti.
Hujan Deras: Ancaman di Tengah Penantian
Ironisnya, di saat petani menanti hujan untuk menyelamatkan tanaman tebu yang kehausan, hujan justru datang dengan cara yang menghancurkan. Hujan deras yang turun dalam waktu singkat menyebabkan banjir di sejumlah area perkebunan tebu. Air yang meluap merendam tanaman, menyebabkan busuk akar, dan merusak struktur tanah. Tebu yang sudah siap panen pun terancam gagal dipanen akibat terendam banjir. Di daerah perbukitan, hujan lebat juga dapat memicu tanah longsor yang mengancam perkebunan tebu di lereng-lereng. Longsor dapat menimbun lahan perkebunan, merusak jalan akses, dan bahkan mengancam keselamatan para pekerja di perkebunan.
Mimpi Manis Berubah Pahit: Petani Tebu Terjerat Krisis Ekonomi
Cuaca ekstrem yang menghantam perkebunan tebu di Kabupaten Blitar telah menimbulkan dampak ekonomi yang mencekik bagi para petani. Penurunan produksi tebu secara drastis menyebabkan pendapatan mereka merosot tajam. Banyak petani yang gagal panen dan terpaksa menanggung kerugian besar. Kondisi ini diperparah dengan peningkatan biaya produksi. Petani harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli pupuk, pestisida, dan mengatasi kerusakan akibat cuaca ekstrem. Tak sedikit petani yang terpaksa berhutang untuk menutupi kekurangan modal dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Dampak ekonomi ini tidak hanya dirasakan oleh petani tebu itu sendiri, tetapi juga berimbas pada keluarga mereka. Banyak keluarga petani yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi ini mengancam kesejahteraan dan masa depan generasi penerus petani tebu. Lebih jauh lagi, krisis ekonomi yang menghantam petani tebu dapat meningkatkan angka kemiskinan di Kabupaten Blitar. Jika tidak segera diatasi, kondisi ini dapat menimbulkan dampak sosial yang lebih luas, seperti peningkatan pengangguran dan kriminalitas.
Biaya Perawatan Membengkak, Produksi Menurun
Untuk mengatasi dampak cuaca ekstrem, petani terpaksa mengeluarkan biaya tambahan untuk perawatan. Irigasi yang lebih intensif diperlukan untuk menjaga kelembaban tanah. Penggunaan pupuk dan pestisida juga ditingkatkan untuk mencegah serangan hama dan penyakit. “Biaya perawatan bisa naik dua kali lipat dari biasanya,” ujar Pak Mardi.
Namun, upaya ini tidak selalu berhasil. Banyak tanaman tebu yang tetap tumbuh kurang optimal dan menghasilkan rendemen gula yang rendah. “Tahun ini hasil panen turun drastis. Padahal biaya perawatan mahal,” keluh Pak Muji, petani tebu di Kecamatan Binangun.
Harga Tebu Tinggi, Namun Belum Cukup
Di tengah kesulitan yang dihadapi petani, harga tebu di tingkat pabrik justru relatif tinggi. Hal ini didorong oleh menurunnya pasokan tebu akibat cuaca ekstrem dan tingginya permintaan gula di pasar membuat harga tebu tinggi di pabrik . Meskipun demikian, harga tebu yang tinggi belum tentu mampu menutupi seluruh biaya produksi yang dikeluarkan petani. “Untungnya pabrik mau beli mahal, tapi kalau dihitung-hitung masih tipis keuntungannya. Semoga cuaca kembali normal agar produksi bisa meningkat,” harap Pak Mardi.
Penulis / NIM : Badrul Munir Arrosadi / 202320390111010
Mahasiswa Magister Agribisnis UMM