Mungkinkah Indonesia Menuju Kemandirian Pangan di Tengah Lahan Pertanian yang Semakin Kritis?

Oplus_131072

Keterangan Foto : Hamparan lahan pertanian yang subur di area wisata yang sebentar lagi tergerus oleh vila dan  hotel

RADARJATIM.CO ~ Sering kita mendengar istilah “Gemah Ripah Loh Jinawi” istilah dalam Bahasa Jawa yang menggambarkan lahan pertanian yang luas, subur dan makmur, tetapi sepertinya istilah ini sudah tidak relevan untuk menggambarkan kondisi pertanian di Indonesia sekarang ini. Gemah ripah dalam kontek pertanian di Indonesia mungkin hanya tinggal kenangan, negara yang luas “pertaniannya” itu semakin menghilang, hamparan sawah dan ladang yang hijau semakin tersekat-sekat oleh tembok-tembok dan lalu lalang kendaraan, lahan-lahan pertanian berubah menjadi kawasan perumahan, industri, infrasrtuktur dan lainnya. Berdasarkan Sensus Pertanian 2023 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan pertanian produktif di berbagai daerah utama, khususnya Jawa, dan Sumatera terus menurun setiap tahunnya. 60.000-80.000 Ha lahan yang tadinya subur kini telah berubah fungsi, membawa konsekuensi besar bagi upaya kemandirian pangan Indonesia.

Mengupas tentang alih fungsi lahan merupakan hal yang panjang dan komplek, setidak nya ada 3 faktor utama yang menyebabkan lahan beralih fungsi yaitu:

1. Pendapatan petani yang semakin menurun

Sektor pertanian bukan hal yang cukup menarik untuk digeluti, karena tidak dapat memberikan pendapatan yang pasti, sehingga para pemangku sawah lebih memilih menjual tanah atau mengalihfungsikan ke sektor lain.

2. Ketersediaan air irigasi yang terus menurun.

Air merupakan salah satu dari 3 elemen mutlak untuk pertanian, tetapi bukan hal yang baru terutama pada pertanian perkotaan sumber dan saluran irigasi sudah tidak berfungi dan beralih fungsi.

Baca Juga :  Tingkatkan Hasil Panen Poktan Gumining Gelar Rapat Focus Group Discussion (FGD)

3. Undang-Undang No 41/2009 tumpul di lapangan. Sistem pewarisan hak milik sawah, menyebabkan kepemilikan lahan semakin sempit dan tidak produktif jika diusahakan. Dampaknya, para ahli waris memilih menjual lahan sawahnya dan uangnya dibagi ke para ahli waris. Untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi tentu lahan sawah harus dijual ke penguasaha untuk dibangun infrastruktur, perumahan atau pabrik.

Mayoritas masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Maraoke sudah ketergantuangan dengan beras sebagai makanan pokok. Bagi jutaan rakyat Indonesia, terutama kelompok berpendapatan rendah, ketergantungan pada beras dan bahan pangan pokok lainnya membuat mereka rentan terhadap perubahan harga. Laporan dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa lebih dari setengah pendapatan rumah tangga miskin digunakan untuk pangan, menjadikan mereka yang paling terdampak oleh lonjakan harga beras yang terjadi sepanjang akhir 2023 hingga awal 2024. Lonjakan harga ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk keterbatasan pasokan akibat penyusutan lahan serta distribusi yang terganggu. Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) bahkan sempat mengakui bahwa cadangan beras mengalami penurunan yang memicu keputusan pemerintah untuk melakukan impor darurat pada awal 2024.

“Loh Jinawi” istilah yang menggambarkan tanah yang subur dan masyarakat yang makmur mungkin istilah yang jauh panggang dari api untuk kondisi lahan pertanian di Indonesia dan masyarakat petani Indonesia. Dari tahun ke tahun kualitas lahan petanian di Indonesia, khususnya di Jawa semakin menurun. Ada dua faktor utama yang menyebabkan penurunan kualitas kesuburan lahan pertanian di Indonesia yaitu

1. Pola pertanian yang tidak seimbang terutama pola pemupukan yang tidak seimbang, penggunaan pupuk kimia di Indonesia tergolong cukup tinggi, Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023, Indonesia harus mengimpor pupuk dari beberapa Negara sebesar 5,37 juta Ton. Pada pertanian saat ini pupuk kimia merupakan salah satu faktor penentu tinggi atau tidaknya hasil pertanian karena berbagai kelebihannya, tetapi jika tidak digunakan dengan cara yang bijak maka akan sangat berdampak terhadap keberlangsungan kualitas tanah. Menurut Daulay, Dayang (2016) penggunaan pupuk kimia yang terus menerus dan tidak seimbang adalah faktor yang paling berperan dalam menurunkan kesuburan tanam, tanah akan mengeras, berkurangnya mikroorganisme tanah, penurunah pH tanah dan pencemaran air.

Baca Juga :  Komunitas Geekvape Kota Probolinggo Gelar Vapemeet Untuk Ajang Sharing dan Nambah Wawasan

2. Pendampingan pertanian di Indonesia yang lebih mengedepankan permasalahan teknis dan jangka pendek, sering sekali kita menemui petugas pendamping pertanian sibuk dikalau terdapat wabah hama dan penyakit, memberikan bantuan pestisida dan lain-lain secara cepat, tetapi kurangnya pendampingan yang sifatnya keberlanjutan yang intensif dan massif terkait pertanian berkelanjutan. Hilangnya pupuk organik dalam paket pupuk subsidi yang di berikan ke petani merupakan fakta pendampingan pertanian yang berkelanjutan masih belum tercipta dengan baik. hasil penelitian tanah yang dilakukan oleh Balai Penelitian Tanah, Kementerian Pertanian (2019) menunjukkan bahwa 66% tanah sawah termasuk dalam kategori rendah karbon dengan kandungan C organik 4%. Sementara itu, untuk memperoleh produktivitas optimal dibutuhkan karbon organik sekitar 2,5%. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa 79% sawah di Indonesia memiliki bahan organik yang sangat rendah. Oleh karena itu, dibutuhkan pemulihan kondisi tanah dengan menambahkan pupuk organik minimum 2 ton per ha per musim. Selain sebagai penambah kandungan bahan organik tanah, pupuk organik sangat bermanfaat untuk tumbuh kembang mikroba dan fauna di dalam tanah

Baca Juga :  Harga Elpiji 12 kg Siap - Siap Naik

“Berdasarkan hasil keputusan Badan Anggaran DPR RI, Kementerian Pertanian (Kementan) resmi mendapatkan tambahan anggaran sebesar Rp21,49 triliun untuk tahun 2025. Sebelumnya, dalam pagu anggaran 2025 Kementan mendapat anggaran sebesar Rp7,91 triliun, sehingga total anggaran tahun depan sebesar Rp29,37 triliun. Adapun tambahan anggaran itu penggunaannya akan didominasi untuk program Quick Wins Presiden Terpilih Prabowo Subianto, yakni sebesar Rp15 triliun untuk digunakan cetak sawah 150 ribu Hektare (ha), dan intensifikasi lahan 80 ribu ha, Sisanya Rp6,4 triliun digunakan program non Quick Wins, dibagi Rp4,3 triliun peningkatan produksi padi jagung dan Rp2,13 triliun peningkatan produksi daging dan susu” dari alokasi anggaran tahun 2025 ini belum tergambarkan konsep kerja pertanian berkelanjutan dari lahan-lahan yang sudah ada saat ini, pemerintah cenderung focus ke program cetak sawah melalui program food astate nya.

Dari tanah dan kembali ke tanah, tanah yang baik akan menghasilkan produk yang berkualitas, tanah yang sehat akan menghasilkan produk yang sehat. Keberlanjutan pertanian tergantung dari ketegasan dan pengawasan UU alih fungsi lahan sehingga lahan tidak semakin jauh berkurang, dan investasi jangka panjang pemerintah dalam mengedukasi petani secara massif dan berkelanjutan untuk menjaga kesuburan dan kesehatan tanah.

“Gemah Ripah Loh Jinawi, lahan yang luas semakin susut dan lahan yang ada semakin tandus”

 

Penulis: Agus Supriono Magister Agribisnis UMM