Surabaya | radarjatim.co ~ Permohonan audiensi dari organisasi sosial Aliansi Surabaya peduli AIDS (ASPA) komisi D DPRD Surabaya menindaklanjuti dengan menggelar rapat koordinasi. Senin (28/4/2025)
Rapat kordinasi di Komisi D DPRD Surabaya dipimpin langsung oleh ketua komisi D dr.Akmarawita Kadir,dan dihadiri dari OPD Pemkot Surabaya diantaranya dari Bappedalitbang, Disnaker, Dinas kesehatan,Dinas sosial, Dinas Pendidikan, Disbudporapar dan Satpol PP kota Surabaya.
Ajeng Wira Wati anggota komisi D DPRD Surabaya menekankan pentingnya lebih serius terhadap penanganan HIV/AIDS dan pasien AISP (AIDS Infection and Seksual Partner) Ajeng mengatakan bahwa Surabaya harus lebih berhati hati namun progresif dalam pengelolaan persoalan ini.
Kita lebih mengupayakan menindaklanjuti berbagai permasalahan pasien HIV/AIDS ,namun harus tetap lebih berhati hati .
Dengan Perpres 16 tahun 2018 kita ingin mendukung medical reminder system ( MRS) agar warga Surabaya mendapatkan layanan kesehatan yang lebih baik” pungkas Ajeng.
Ajeng juga menambahkan pentingnya pemanfaatan anggaran Daerah (APBD) secara maksimal untuk hal program program sosial tersebut
Termasuk skema swakelola yang melibatkan banyak instansi Dinas dan ASN. Kita ingin memastikan ada alokasi anggaran yang konsisten Setiap tahun untuk mendukung eliminasi HIV/AIDS” bukan hanya sekedar rencana dibatas kertas” ujarnya.
Sementara anggota komisi D lainya William wirakusuma dengan menyoroti perlunya adanya pembaruan regulasi daerah( Perda) karna yang lama sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kota Surabaya saat ini yang dinamis.
Surabaya kota besar ke 2 di Indonesia dengan perda HIV/AIDS yang dibuat tahun 2012 sudah terlalu lama maka perlu adanya
Regulasi, kita akan usulkan pembaruan agar lebih sesuai dengan kondisi kota Surabaya saat ini yang dinamis.
Perda penanggulangan HIV/AIDS yang dibuat tahun 2012 sudah terlalu lama maka perlu adanya perubahan (regulasi)sesuai dengan perkembangan kota” ujar William.
William juga mengusulkan pendirian shelter khusus bagi pasien HIV/AIDS,dan TBC ,selain itu juga ia juga menyinggung soal kebijakan penonaktifan KTP bagi penderita TBC yang menolak untuk berobat.
Ini bukan diskriminasi, penonaktifan KTP dilakukan setelah pendekatan berulang pasien HIV/AIDS dan TBC agar mau untuk melanjutkan pengobatan demi kesehatan mereka dan masyarakat” imbuhnya.
Dari lembaga sosial ASPA Hanif sebagai jurubicara capaian program pendampingan dan adukasi yang dilakukan selama tahun 2024 ,untuk rehabilitasi narkoba ada 376 klien, untuk penjangkauan pekerja seks perempuan dan populasi lainnya,
Angka yang kami jangkau mencapai lebih dari 20.000 individu sepanjang tahun 2024″ jelas Hanif.
Hanif juga memaparkan bahwa lebih dari 6.400 individu telah diuji kesehatannya di semester pertama dan lebih dari 8.500 di isemester kedua.
Kami menyingktonkan kerja organ kami dengan rencana kerja Pemerintah daerah,khususnya terkait pengentasan kemiskinan Peningkatan dalam layanan kesehatan inklusif,serta eliminasi TBC dan HIV” terangnya.
Ani juru bicara dari organisasi penyintas tuberkolosis (rekat peduli Indonesia) menjelaskan berbagai tantangan di lapangan,ia menyebutkan bahwa banyak pasien TBC terutama dengan resistensi obat enggan melanjutkan pengobatan karena efek samping obat yang berat juga masalah ekonomi.
Banyak dari mereka pekerja harian sehingga kalau berobat rutin mereka kehilangan penghasilan bahkan terlilit hutang,Ani bahkan pernah membantu membayar hutang pasien agar bisa melanjutkan pengobatannya kembali” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa walau sebelum Indonesia kini menghadapi penurunan bantuan donor Internasional seperti dari Global Fund dan USAID.
Hal ini berkelanjutan sangat tergantung pada dukungan dari Pemerintah daerah” jika tidak disiapkan segera program penanggulangan HIV/AIDS dan TBC bisa terancam,terutama di tingkat daerah seperti Surabaya ” ujarnya.
Rapat kordinasi ini menjadi langkah awal yang penting bagi komisi D DPRD Surabaya dan seluruh pemangku
(Bsk)
