Gresik|Radarjatim.co~Tiada sepatutnya warga Pulau Bawean dipersalahkan dalam hal penyerakan atau pencampakan sampah di sembarang tempat. Di masa lalu sampah buangan rumah tangga dicampakkan langsung ke dalam ceruk buatan di sekitar tempat tinggal yang biasa oleh warga Pulau Bawean disebut (baca, Bawean: jhurgheng). Sampah-sampah jenis apa saja, baik sampah organik maupun anorganik semuanya dilempar masuk ke dalam lubang ceruk atau kubangan buatan setelah habis dikeruk atau diambil tanahnya.
Sudah menjadi kebiasaan orang lama di kala membangun rumah tembok atau bangunan rumah permanen untuk kebutuhan tanah sebagai bahan timbusan diambilkan dari tanah pekarangan di belakang atau di samping rumahnya. Waktu itu jarak antarrumah begitu arang atau tidak sekerap seperti saat ini. Sebelum batu bata ditata naik sebagai dinding bangunan rumah, terlebih dahulu tanah timbusan atau urugan itu dipergunakan mengisi bilik-bilik ruang rumah hingga rata dengan fondasi yang sudah dibim dengan beton coran berkawat. Kadang warga Pulau Bawean membiarkan beberapa bulan hingga tahun lamanya sampai tekstur tanah menjadi “petpet” atau padat dengan tingkat kerataannya.
Sisa lubang berupa kubangan yang lebar menganga itu sengaja dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah. Cara seperti ini cukup praktis karena sampah tidak menyebar ke mana-mana. Hewan yang berupa ayam dan kucing masih punya kesempatan mengais sisa makanan di tempat sampah tersebut sambil mengais-ngais sampah dalam kubangan itu. Bertahun-tahun sampah yang sudah dimasukkan dalam kubangan buatan itu akhirnya terurai juga oleh bakteri menjadi tanah kompos. Kadang di atas areal tanah bekas kubangan itu dimanfaatkan pula untuk ditanami pisang, pepaya, ubi kayu dan holtikultara dari berbagai jenis.
Warga lain yang menjadi tetangga dekatnya di saat membangun rumah demikian juga pola pengurukan untuk meratakan fondasi ruang-ruang rumahnya. Hingga berpuluh-puluh tahun lamanya kubangan untuk pembuangan sampah tetap ada.
Kini, setelah jarak rumah di setiap perkampungan sudah berada dalam hitungan jengkal batasnya, sudah sulit untuk mendapatkan tanah urugan. Warga Pulau Bawean sudah mendatangkan dengan cara membeli kepada tengkulak atau tuan tanah yang diglontorkan paksa dari sebuah bukit atau tanah gundukan lainnya. Harga pun cukup murah. Dalam setiap “colt-nya” sampai di tempat dengan terima beres hingga penuh dan rata keseluruhan cukup merah sekali. Satu colt L-300 tanah timbusan hanya dibandroli Rp.40.000. Seluruh ruang bangunan rumahnya diurug dengan tanah timbusan yang dibelinya. Cerita kubangan buatan menjadi tamat riwatnya.
Warga Pulau Bawean akhirnya membuang sampah di sembarang tempat. Sasaran yang paling sering dijadikan tempat pembuangan sampah adalah sungai dan semak-semak belukar di sekitar tempat tinggalnya. Aroma bau busuk dan menjijikkan dengan kerumunan lalat serta hewan lainnya tetap dibiarkan berkerumun begitu saja. Padahal, lalat dan sejenisnya itu pada akhirnya hinggap juga di makanan dan jajanan yang akan dikonsumsinya.
Salah satu semak belukar terpotret di kawasan salah satu desa pinggiran Sangkapura Kota tak pernah mendapat perhatian.
Warga setempat memanfaatkan semak belukar di dekat pemukiman tempat tinggalnya karena tiadanya perhatian dari kepala desa dan aparuturnya. Termasuk pejabat pemerintah kabupaten pada dinas terkait dengan lingkungan dan persampahan sampai saat ini belum kelar juga untuk melakukan pembebasan lahan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Masing-masing desa di dua kecamatan yakni Kecamatan Sangkapura dan Kecamatan Tambak sudah membuat wadah atau bak sampah di setiap rumah tangga namun pada akhirnya tumpukan sampah itu hendak dibuang ke mana?
Selama ini yang ada pembuangan dan pembakaran sampah yang paling kelihatan mencolok adanya baru di desa Sawahmulya Kecamatan Sangkapura sebagai percontohan. Di desa tersebut sudah dibangun sekitar tiga tungku pembakaran sampah. Dua desa yang pernah mendahului menjadi percontohan dalam pengelolahan sampah secara profesional yakni Desa Lebak yang harus bubar karena salah prosedur dari awal. Tanah yang dipergunakan sebagai pengelolahan sampah bukan tanah milik desa.
Akhirnya, pihak “bapak angkat” sebagai mitra kerja yaitu Bumihara minggat tanpa reserve dengan penuh kekecewaan. Padahal binaannya sudah berjalan dan menghasilkan kemanfaatan, baik dari sisi kesehatan sanitasi maupun peningkatan taraf hidup para pekerjanya.
Demikian pula yang terjadi di Desa Daun Kecamatan Sangkapura begitu euforianya pihak PJB (Pembangkit Listrik Jawa Bali) saat akan mengembagkan gerak CSR (Corparation Social Responsibility)-nya tiba-tiba kabarnya seperti ditelan perut bumi saja. Akhirnya, pihak PJB benar-benar kecewa dan gigit jari dengan persoalan yang mendera Ekowisata Hijau Daun. Peletakan batu pertama tempat pengolahan sampah oleh pihak PJB sebagai mitra angkatnya dengan beberapa varian hasil dari yang dicanangkan semula, kini tinggal cerita ratapan tanpa terdengar lagi tindak lanjutnya.
Bila hal demikian terus terjadi jangan salahkan sampah yang akan terus menyelinap hampir di semak belukar di Pulau Bawean. Potret berikut ini baru secuil dari ratusan semak belukar di Pulau Bawean yang dijadikan sasaran paling aman dari pantauan publik dan pihak terkait dalam pembuangan sampah. Semoga masih ada segelintir pejabat dari pihak pemerintah terkait dengan persoalan sampah di Kabupaten Gresik yang mau perduli terhadap persoalan sampah di Pulau Bawean terkini dan mendatang.
(Sugri)