Probolinggo [ radarrajatim. co- Pada 6 Januari 2021 Pengadilan Negeri Kraksaan mengeluarkan putusan nomor: 34/PDT.6/2020/PN.KRS, yang mengabulkan gugatan penggugat dan menetapkan bersalah kepada Hasan Sanah, Nurfila, dan Juha. Mereka bertiga merupakan warga Negara Indonesia
tepatnya RT 001/RW 001, Desa Sumberlele Kecamatan Kraksaan Probolinggo yang digugat
oleh pengusaha bernama Hakimuddin yang mengklaim tanah tersebut milik pribadi. Padahal, warga telah mendiami tanah yang sebenarnya merupakan milik negara selama berpuluh-puluh tahun.
Semua mimpi buruk berawal sejak Badan Pertanahan Nasional
Kabupaten Probolinggo menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama salah satu pengusaha, bernama Hakimuddin pada 31 Juli 1996.
Warga yang pertama kali menduduki lahan tersebut adalah Satoya, ibu dari salah satu warga yang digugat oleh Hakimuddin. 4 tahun berselan, Munandar suami Satoya menyusul ke Sumberlele. Mereka merupakan pendatang asal Tongas yang pindah ke Kraksaan sekitar
tahun 1960an karena menjadi buruh perkebunan tebu.
Selain menempati tanah milik Dinas
Perairan, Munandar kala itu juga merawat tanah-tanah sempadan sungai dengan menanami beberapa tanaman seperti Semangka, Tomat, Cabai, dll.
Sekitar tahun 1969 Hasan Sanah lahir diatas tanah tersebut. Ia meneruskan tempat tinggal yang diwarisi oleh sang orang tua. Sepanjang ingatannya, Hasan membayar uang redistribusi kepada Dinas Perairan kala itu. Namun, selama beberapa tahun terakhir, Hasan
tidak lagi dimintai uang redistribusi.
Menurut UU Pokok Agraria, dalam pasal 20 yang menyebutkan bahwa “Hak Milik
adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah.”
Maka mestinya tanah tersebut hak warga Sumberlele. Selain itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, disebutkan bahwa “pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut- turut.”Namun, pasca terbitnya SHM, Hakimuddin melakukan manuver untuk mencaplok tanah milik warga Sumberlele.
Pada tahun 1997, ketika Hasan merantau ke Batam, Bu Hasan dan Bu Juha diminta oleh istri Hakimuddin untuk menandatangani Surat Izin Pinjam Pakai.
Bu Hasan dan Bu Juha merupakan dua orang warga Kabupaten Probolinggo yang buta huruf.
Mereka dipaksa untuk menandatangani surat tersebut tanpa dijelaskan terlebih dahulu oleh istri Hakimuddin. Karena keterbatasan, Bu Hasan dan Bu Juha tidak bisa tanda tangan, melainkan dengan membubuhkan cap jempol tanpa tahu isi surat tersebut.
Fakta lain menyebutkan bahwa mayoritas warga Desa Sumberlele merupakan pekerja informal dengan pendapatan yang terbatas. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik Kabupaten Probolinggo tahun 2019 menyebutkan bahwa angka kemiskinan di Kabupaten Probolinggo semakin tinggi hingga menjadikan kabupaten termiskin keempat di Provinsi
Jawa Timur.
Selain itu warga juga menggantungkan hidupnya dari sepetak lahan dengan membuka warung-warung kelontong. Keadaan hidup dan kondisi ekonomi yang makin sulit membuat warga Sumberlele tidak mampu menempati perumahan. Di lain sisi, Kuatnya ikatan
emosional dengan tanah kelahiran membuat warga enggan direlokasi dan menolak digusur
Di samping itu, hak rakyat atas hidup dan tempat tinggal yang layak merupakan hak
yang tidak bisa ditawar atau diabaikan. Hak tersebut secara tegas diatur dalam pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Di lain sisi, masih banyaknya warga Kabupaten Probolinggo justru menempati rumah
bukan milik pribadi. Hal ini indikasinya karena ketimpangan akses terhadap tanah yang semakin dalam; sedikit orang memiliki banyak tanah, banyak orang memiliki sedikit bahkan tidak memiliki tanah. Terbitnya SHM atas nama Hakimuddin tersebut selain merampas hak warga Sumberlele juga mencaplok tanah negara yang mestinya diberikan kepada tunakisma.
Dalam pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, jelas disebutkan
bahwa “Sungai dikuasai oleh negara dan merupakan kekayaan negara.” Dipertegas dalam Pasal 5 ayat (1) “Sungai terdiri atas: a. palung sungai B. sempadan sungai.” Hal itu membuktikan bahwa tanah yang selama ini ditempati oleh warga Sumberlele merupakan
tanah yang dikuasai Negara.
Namun sangat disayangkan Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Probolinggo justru menerbitkan SHM kepada pengusaha yang justru berasal dari luar Desa Sumberlele.
Penggusuran yang mengancam warga Desa Sumberlele akan memperpanjang deretan konflik agraria di Kabupaten Probolinggo yang selama ini jarang disorot. menggusur warga yang tinggal di sempadan sungai begitu saja adalah langkah yang kurang bijaksana. Sebab bagaimanapun mereka sudah tinggal di wilayah itu selama bertahun-
tahun. Lebih-lebih ancaman bukan merupakan kepentingan Negara melainkan hasrat kepentingan pribadi.
Padahal, jelas dalam Pasal 17 ayat (1) dalam PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Dalam hal hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menunjukkan terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.”
Yang dimaksud dengan “status quo” adalah kondisi tidak boleh mengubah, menambah,
ataupun memperbaiki bangunan.
Majelis hakim mengabaikan semua fakta tersebut dalam memutuskan gugatan yang dialami warga. Putusan majelis hakim, dirasa tidak memenuhi rasa keadilan bagi Hasan
Sanah, Nurfila, dan Juha serta warga Sumberlele lainnya yang berjuang memperoleh keadilan.
Tentu hal ini akan menjadi preseden buruk bagi keadilan di tanah air.
Namun, Putusan PN Kraksaan tidak membuat warga Sumberlele ciut. Kini warga bersama tim advokasi tetap menempuh jalur konstitusional untuk memperjuangkan keadilan
dalam kasus ini dengan melakukan upaya hukum banding. Warga desa Sumberlele berharap keadilan di Indonesia masih memihak kepada rakyat.
( Red )