RADARJATIM.CO. Cara jadul yang pernah dilakoni warga Pulau Bawean sebelum mengenal alat pengelola sampah dengan cara membuangnya ke dalam sebuah ceruk, kubangan buatan (baca, Bawean: jhurgheng).
Ceruk buatan ini merupakan lubang menganga di sekitar rumah yang baru dibangun setelah diambil tanahnya untuk penimbusan atau pengurukan ruang-ruang rumah yang baru terbangun fondasinya. Kebiasaan menggali lubang sendiri itu saat ini sudah tidak dilakukan lagi karena sudah ada jasa jual-beli tanah urugan yang diambilkan dari salah satu tempat tertentu dalam satuan jual perkol ukuran Colt L-300.
Zaman dulu, ceruk buatan itu sengaja dibuat untuk digali tanahnya. Tanah cangkulannya menimbus petak-petak ruang bangunan rumah. Manfaat sampingan dari kubangan itu digunakan untuk menampung sampah sekian lama hingga sampah-sampah itu membusuk menjadi kompos dan rata kembali seperti sediakala. Ceruk buatan itu dijadikan “Salumi”, satu lobang dimanfaatkan secara ramai-ramai untuk membuang sampah bersama tetangga lainnya.
Cara lama itu dilakukan dengan jiwa kebersamaan penuh tanggung jawab. Kebiasaan itu sejak dulu sebelum warga Pulau Bawean mengenal program pengelolaan sampah secara terpadu dengan sentuhan teknologi. Walau demikian di zaman silam tidak ada namanya sampah berserakan di sembarang tempat.
Semua sampah pada zaman dulu terkubur rapi di kubangan buatan itu. Efeknya yang paling buruk kala itu menyebar penyakit mematikan berupa penyakit kolera akibat basil yang dibawa lalat itu hinggap di makanan yang tak bertutup milik warga. Hewan berupa kucing, tikus, dan ayam dan sejenisnya secara tidak langsung bisa mengais rezeki untuk kebutuhan makannya berupa tulang-tulang dan nasi basi serta sampah basah lainnya.
Kini, warga Pulau Bawean mengalami kesulitan untuk membuang sampah pada tempat yang semestinya. Mencari kubungan buatan di sekitar tempat tinggalnya seperti zaman dulu sudah tidak ada lagi. Persoalan ini terus menjadi bahan wacana yang tak kunjung terealisasi akibat faktor lahan, alat, dan tenanaga pengelola. Mungkin saat ini baru ada dua desa di Kecamatan Sangkapura yang sudah mulai menggarap persampahan secara terpadu yakni Desa Lebak dan Desa Gunungteguh.
Hal menarik yang menjadi catatan penulis inisiatif camat Sangkapura mengeluarkan “warning” kepada desa di Kecamatan Sangkapura untuk memasukkan dalam APBDes nya tentang pengelolaan sampah. Jika program pengelolaan sampah tidak dimasukkan dalam APBDes maka camat Sangkapura Bapak Umar Juned tidak akan membubuhkan tanda tangan dalam legal standing pengesahan atau sebagai pihak yang mengetahuinya. Salut buat camat yang latar “Curriculum Vitaenya” pernah menjadi seorang guru atau pendidik itu.
Seyogyanya Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Gresik segera melakukan sidak ke sebuah Sungai di Dusun Barat Sungai Desa Kotakusuma agar tahu fakta serak-serak sampah, bukan serak-serak basah itu. Jangan salahkan warga atau pemerintahan desa jika sampah dicampakkan seenaknya atas tidak adanya usaha untuk mewujudkan hidup bersih dan sehat.
Betapa mirisnya, sungai yang baru saja dinormalisasi dengan menurunkan alat berupa beko dari dinas pekerjaan umum harus dangkal kembali akibat tumpukan sampah buangan warga terdekat dan sampah datang dari sepanjang hulu sungai.
Akhirnya, muara sungai di pantai Dusun Pateken Desa Kotakusuma semakin dangkal dan tererlihat jorok dan kumuh aliran sungainya. Ujung-ujungnya sampah itu akan terbawa banjir pada musim hujan dan menumpuk kompak bersatu di salah satu ketiak dermaga Kecamatan Sangkapura. Paling akhir “Siapa akan menuding pada kesalahan siapa”. Garcep dong!
(Sugriyanto)