Mekanisasi pertanian ke depan sangat penting. Tantangan pemenuhan pangan tidak hanya karena perubahan iklim, juga makin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian.
Sehingga potensi pasar alat mesin petanian (alsintan) di Indonesia sangat besar. Sayangnya, masih banyak yang belum menerapkan mekanisasi.
“Kita sudah menerapkannya, tapi belum begitu luas,” kata Prof Bungaran Saragih pada seminar dan talk show bertajuk Pertanian Modern: Meraih Peluang Pasar Mesin Pertanian di Indonesia yang diselenggarakan Majalah AGRINA di The Oakwood Hotel TMII Jakarta, Kamis (7/3).
Menurut Bungaran, tingkat mekanisasi Indonesia one of the lowest in the world. Salah satu penyebabnya, Indonesia adalah negara kepulauan, yang terdiri dari pulau-pulau kecil tapi masih menggunakan alat-alat mesin pertanian yang di suplai dari negara kontinental. “Kelihatannya modern, tetapi kurang fungsional,” tegas Menteri Pertanian RI periode 2000 – 2004 ini.
Bungaran menjelaskan, Indonesia hingga kini belum mempunyai teknologi untuk memanfaatkan potensi lahan rawa karena terpesona dengan alat-alat mesin dari negara kontinental. “Kita menjadi konsumen yang kadang-kadang tidak solving our problem Just make looks modern. Padahal mekanisasi harus memecahkan masalah yang dihadapi,” kata Bungaran Saragih.
Kepala Balai Besar Mekanisasi Pertanian, Kementerian Pertanian (Kementan), Agung Prabowo mengatakan, Mekanisasi pertanian ini menjadi satu solusi yang bisa menjawab kebutuhan pangan dan kondisi iklim yang terus berubah. Selain semakin berkurangnya tenaga kerja di sektor pertanian.
Rerata usia petani yang bergerak di bidang pertanian saat ini di atas 45 tahun. “Dari hasil deteksi kita, petani yang bergerak di bidang pertanian saat ini usianya 45 tahun ke atas dan diperkirakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2035 to zero SDM pertanian. Di sisi lain, kebutuhan pemenuhan pangan sangat tinggi,” urai Agung.
Oleh karena itu, salah satu solusi yang mampu menjawab kebutuhan pangan penduduk yang terus bertambah adalah implementasi mekansisasi pertanian secara masif. “Banyak keuntungan, yaitu mampu menurunkan tenaga kerja 69 persen, biaya produksi 31 persen, mengurangi susut hasil 68 persen, mampu meningkatkan produktivitas 10 persen, dan profit 20 persen,” urai Agung Prabowo.
Sementara itu, Wakili Ketua Asosiasi Teknologi Tanpa Awak (ASTTA), Asha W. Saelan memaparkan peluang dan tantangan teknologi pesawat nirawak (drone) di Indonesia cukup menjanjikan. ASTTA bekerja sama dengan PRISMA (program kerja sama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia untuk pertumbuhan pasar pertanian) juga mengembangkan materi pelatihan penyemprotan lahan pertanian bagi operator drone.
“Peluang pasar drone pertanian sangat besar. Penggunaan teknologi hanya mengandalkan pengalaman dan naluri. Manfaat penggunaan drone dapat memantau kesehatan tanaman, pemetaan dan topografi, penanaman, pembibitan, penyemprotan, dan solusi irigasi,” ungkapnya.
Dengan demikian petani akan terbantu dalam melakukan pengamatan di lahan budidayanya.
Sedangkan, Nanang Widyanarko, Principal Business Consultant PRISMA menilai, peluang dan potensi pasar alsintan cukup besar, terutama untuk mengurangi ketergantungan tenaga kerja di sektor pertanian. Apalagi dalam komponen usaha tani, biaya untuk tenaga kerja hampir separuh dari total biaya.
Misalnya, penggunaan combine harvester bisa menurunkan biaya usaha tani hingga 33 persen perhektar dan pengurangan tenaga kerja hingga 91 persen.
Catatan PRISMA, hampir 94 persen petani menggunakan traktor roda 2 untuk pengolahan lahan. Selain itu, metode penanaman dengan alsintan masih sangat rendah, petani yang menggunakan combine harvester hanya sekitar 16 persen.
“Artinya potensi pertumbuhan mekansisasi masih terbuka luas, terutama potensi untuk pengolahan lahan dan pemanenan,” katanya. Dengan kondisi lahan petani di Indonesia yang umumnya sempit dan harga alsintan juga cukup mahal. Oleh karena itu, pihaknya mendorong tumbuhnya pengusaha penyedia alsintan.
Menurut Wahyu Adhi Nugroho, Shari’a Community Banking, Nano Bank Syariah, bagi pelaku usaha yang ingin terjun ke bisnis alsintan, pihaknya saat ini menyediakan skema pembiayaan yang bekerjasama dengan dealer alsintan.
Mekanismenya nanti, pelaku usaha atau calon kreditur membeli ke perusahaan penyedia (dealer) alsintan. ”Kemudian customer baru diproses pinjamannya. Alsintan tersebut nantinya menjadi jaminan terhadap pinjaman tersebut. Jadi untuk mendapatkan pinjaman tidak bisa langsung ke bank, tapi harus berkolaborasi dengan dealer,” katanya.
Wahyu menambahkan, pihaknya telah mengembangkan skema angsuran sesuai income pelaku usaha. Misalnya, jika pendapatan dari alsintan tersebut tiga bulan sekali, maka angsuran dapat dibayar tiga bulan sekali juga. ”Rate pinjaman yang kami berikan juga kompetitif 10 – 14 persen pertahun, tergantung risiko usaha alsintan,” punkasnya.
Mardi Rasa