RADARJATIM.CO.~Nahdlatul Ulama tidak bisa dipisahkan dari Pondok Pesantren. Para Kiai , Ustadz yang mendidik santri dengan ilmu ilmu Agama berharap agar ilmu tersebut bermanfaat dan barokah.
Kemanfaatan ilmu tidak semata-mata karena keilmuannya tapi juga karena barokah para Ulamanya. Berbeda dengan sekolahan yang terbatas mengajarkan bidang keilmuan tertentu, maka pesantren mengajarkan kehidupan dan perjuangan, yang tentu memerlukan keilmuan. Ilmu merupakan bagian dari kehidupan, bukan kehidupan yang merupakan bagian dari ilmu.
Sistem pendidikan sudah ditata begitu rupa semenjak kurang lebih 100 tahun yang lalu oleh para pendiri pesantren setelah periode Walisongo. Sistem pendidikan ini menjamin ilmiah dan amaliyah agama yang lurus dan toleran (alhanifiyatus samhah) sehingga sudah terbukti pesantren melahirkan Ulama, pejuang kemasyarakatan tanpa konflik dan menyangga kedaulatan Negara secara serasi, tidak menghadapkan agama dan Negara tetapi mengisi Negara dengan nilai agama apapun bentuk Negara itu melalui jalur amar makruf nahi munkar.
Yang harus kita sadari penataan sistem tersebut harus dipertahankan nilai-nilai luhurnya misalnya akhlak, kejuangan, dan pengabdian masyarakat.
Di sisi lain, perkembangan zaman telah menjadi sunnatullah akan mengalami perubahan luar biasa pada setiap 100 tahun. Oleh karenanya pelanjut-pelanjut pesantren masa kini harus juga memperhatikan bagaimana cara membawa nilai luhur tersebut dalam kondisi zaman, teknologi, science, dan perangai manusia. Oleh karenanya sangat baik kalau di dalam pesantren ada pendidikan formal yang dapat menyambungkan antara nilai luhur dan perkembangan masyarakat yang tiada henti. Hal ini telah dimiliki oleh banyak pesantren, oleh karenanya tinggal intensifikasi dan ekstensifikasi selanjutnya.
Metodologi yang meramu antara al-Qadimussoleh (nilai luhur yang lama) dengan al-akhdzu bil jadidil aslah (mengakomodasi hal-hal baru yang lebih baik), sampai saat ini belum terumuskan secara baik. Akibatnya, banyak santri yang ingin pengembangan pemikiran ‘meloncat’ ke pemikiran bebas liberal yang sangat merugikan nilai luhur pesantren. Di pihak lain banyak juga santri yang menekuni nilai luhur tanpa melihat perkembangan yang pada akhirnya menjadi jumud. Disinilah pentingnya metodologi perumusan untuk tetap berjalan pada alhanifiyatus samhah.
Lebih dari itu, yang mempunyai pandangan hubungan agama dan Negara yang tidak saling benturan adalah pesantren-pesantren NU disebabkan pada tahun 1984 di Sukorejo, Situbondo, KH. Ahmad Siddiq menggunakan patokan-patokan yang dibuat oleh Rasulullah di dalam Piagam Madinah (Mitsaqul Madinah). Tidak menentukan bentuk Negara tapi menentukan pokok-pokok ajaran Islam yang harus diisikan di dalam Negara tersebut tanpa konfrontasi. Dengan demikian hubungan agama dan Negara menurut NU menjadi serasi tanpa pemberontakan-pemberontakan.
Hanya saja, yang belum diselesaikan oleh pemikiran NU saat ini adalah merangkai antara ayat tauhid, ayat ibadah, ayat hukum, ayat mu’amalah, dan ayat kauniyah menjadi satu kesatuan pemikiran merakit ilmu-ilmu yang ada dan lengkap di dalam al-Qur’an. Ini merupakan tantangan kita di bidang ilmiah integratif (Ilmiyah Mujammaah) untuk menghadapi abad ke depan. Kita harus menggalang perjuangan Walisongo jilid II. Semoga dalam petunjuk Allah SWT. Amin (HMS)
Penulis: HM. Misbahus Salam