Jakarta, RADARJATIM.CO – Potensi perdagangan Bursa Karbon Indonesia mencapai Rp. 3 Triliun. Setidaknya ada satu gigaton karbondioksida (CO2) potensi kredit karbon yang bisa ditangkap.
Hal itu dikatakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peluncuran Bursa Karbon pertama di Indonesia di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (26/9). “Rp3.000 triliun bahkan bisa lebih. Sebuah angka yang sangat besar. Yang tentu ini akan menjadi kesempatan ekonomi baru yang berkelanjutan dan ramah lingkungan sejalan dengan arah dunia yang menuju ekonomi hijau,” kata Jokowi.
Jokowi berharap, kehadiran bursa karbon bisa menjadi kontribusi Indonesia untuk berjuang bersama dunia dalam melawan krisis iklim. Juga menjadi langkah konkret Indonesia mencapai Nationally Determined Contribution (NDC) yaitu dokumen yang memuat komitmen dan aksi iklim sebuah negara yang dikomunikasikan kepada dunia melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
“Hasil dari perdagangan ini akan direinvestasikan kembali pada upaya menjaga lingkungan khususnya melalui pengurangan emisi karbon,” kata Jokowi.
Dalam perdagangan perdana, tercatat sudah ada 13 transaksi yang melibatkan 459.910 ton CO2 ekuivalen. Adapun di pasar domestik, karbon yang diperdagangkan merupakan karbon vintage medio 2016 hingga 2020.
Sementara itu, menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Bursa Karbon bukan hanya akan melaksanakan perdagangan domestik, tetapi juga lintas negara. “Dimulai pasar dalam negeri dan akan dikembangkan ke perdagangan pasar karbon luar negeri serta sebagai karbon market regional hub,” tambahnya.
Luhut mengatakan Indonesia penting menjadi hub pasar regional agar tersedia unit karbon yang sesuai dengan standar international. Dia menilai perdagangan karbon lintas negara di pasar sukarela atau voluntary carbon market (VCM) memiliki potensi besar.
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar, mengungkapkan implementasi bursa karbon di RI merupakan kerja sama harmonis pejabat negara sehingga jauh lebih cepat dibandingkan dengan negara tetangga.
Di hadapan Jokowi dan jajaran menteri, Mahendra mengungkapkan bursa karbon di Indonesia hanya perlu waktu 8 bulan, jauh lebih cepat dari implementasi di negara tetangga yang butuh waktu 1,5 hingga 2 tahun.
Lebih lanjut Mahendra menyebut, bursa karbon di negara jiran perlu waktu 3-4 bulan sampai transaksi perdana bisa dilakukan. Sementara itu di Indonesia, perdagangan perdana terjadi langsung ketika perdagangan karbon resmi diluncurkan.
(RJ/TMR)